Selasa, 17 November 2015

Cinta di Balik Tembok China (The Return of Love) - Part 2


Selamat Membaca ...


Maaf banyak Typo bertebaran hehe ...






Aku sedang merias wajahku agar terlihat lebih fresh dan rapih. Dan aku sedang mempercantik diriku, tapi tunggu cantik?. Hmm .. tapi cantik itu relatif, akan lebih alami jika kau terlihat cantik dari dalam, karena cahaya atau aura yang ada di dalam dirimu akan keluar dengan sendiri karena sifat dan hatimu yang mulia. Malam ini aku menggunakan dress putih sedengkul dengan membiarkan rambutku terurai menari bersama angin malam serta ku kenakan sepatu cats berwarna putih agar terlihat serasi dengan dress yang ku pakai. Malam ini kevin ingin mengajak ku ke taman bermain, mungkin ini sebuah pertanda.

“apa kevin ingin mengajak ku kencan? Atau ingin menyatakan cinta padaku?” gumamku di depan cermin rias, aku tersenyum membayangkan hal yang indah bersamanya layaknya pasangan kekasih, namun aku langsung memukul keningku, aku segera menyadarkan diriku sendiri bahwa kita hanya berteman.

“nadien .. kau hanya teman untuknya, kau ada hak untuk perasaanmu tapi kau tak punya hak untuk memilikinya. Ingat nadien, kevin sudah punya kekasih yang mungkin sudah di lamar olehnya, kau harus bisa mengendalikan perasaanmu, kamu pasti bisa, fighting!” aku menyemangati diriku sendiri yang masih memandangi cermin dan aku tersenyum melihat diriku di dalam cermin riasku.


~~*~~


Aku berjalan beiringan dengannya di temani bintang yang bersinar terang dan udara yang sejuk, malam ini terasa lebih indah bersama dia di sisiku, namun aku sadar dengan ke beradaan ku saat ini, hanya teman baginya tidak lebih. Aku hanya dapat memandanginya dari balik hati yang terluka dan menyimpan sejuta rasa padanya, entah seberapa dalam rasaku padanya, yang intinya aku bahagia malam ini bisa bersamanya.

“nadien?” panggilnya membuyarkan lamunanku.

“iya” aku menoleh padanya

“kita bermain apa malam ini? Biang lala?Kora-kora?Atau role koster?”

“bagaimana kalau permainan di sini kita rasakan semuanya, setuju?”

“oke, siapa takut”

Aku berlari terlebih dahulu menuju kora-kora, ia mengikuti ku di belakang dan kami ikut adil  dalam antrian. Setelah 15 menit kami mengantri, kami dapat menaiki permainan tersebut dan duduk di barisan belakang dan tak lupa kami mengenakan pengaman untuk berjaga supaya kami tidak jatuh selama permainan berlangsung.

“teriaklah sepuas hatimu” ujarnya.

“hemm” aku mengangguk mantap.

 

Permainan telah di mulai perlahan kami di buat biasa saja dengan permainan ini, namun selang satu menit, kami semua yang menaiki kora-kora ini berteriak dengan kencang, entah teriakan itu karena permainan ini atau kerena beban yang mereka simpan. Sepertiku, aku berteriak sekencang-kencangnya untuk menghilangkan beban yang telah ku tampung di dalam hati, entah telah berapa lama perasaan ini tersimpan rapih di hati. Akhirnya permainan usai, aku merasa sedikit lega, beban di hati ini sedikit mulai berkurang. Kami berlanjut ke permainan selanjutnya, kami menuju permainan role koster hingga kami sampai pada permainan terakhir yaitu biang lala (kincir angin). Kami berjalan keluar dari taman bermain ini karena waktu sudah menunjukkan pukul 22.00.

“kita pulang?” tanyanya sambil menatapku dari samping.

“hemm .. tentu saja, tapi bisa kah kita mampir sebentar di penjual gulali di sana” tunjuk ku pada penjual gulali yang tak jauh dari tempat kami berdiri, ia tersenyum padaku dan kami segera menghampiri penjual itu.

“kau mau ?” tanyaku padanya.

“tapi bagaimana rasanya?”

“kau belum pernah mencobanya?” tanyaku heran.

“belum, apa rasanya aneh?”

“tidak, rasanya manis .. gulali dapat menghilangkan rasa sakit, sedih, kecewa, amarahmu dan mengubah semua ras itu menjadi manis, gulali dapat mengubah moodmu yang tadinya buruk dapat kembali membaik” jelasku.

“sungguh? Apa sehebat itu gulali ini?” tanyanya tak percaya dengan ucapanku.

“hemm ..” aku mengangguk “kau mau mencobanya?” tanyaku sekali lagi menyakinkannya.

“boleh, aku ingin mencobanya”

“ 2 gulali ya pak” ucapku pada penjual gulali, tak lama penjual itu memberikan 2 bungkus besar gulali padaku dan aku segera memberikan uang padanya namun tanganku di tahan oleh kevin, aku melirik ke arahnya.

“sudah biar aku saja” ujarnya seraya tersenyum lalu ia membayar gulalinya, aku memasukkan uang yang tadi tidak jadi di pakai ke saku celanaku, aku tersenyum karena malam ini aku mendapat banyak hal yang menyenangkan bersamanya dan mendapat gulali GRATIS.

“ini” aku memberikan gulali padanya.

“makan, rasakan dan habiskan. Gak baik bukan jika makanan tidak di habiskan, itu akan mubajir” lanjutku sambil memakan gulali, kami menepi dan mencari tempat duduk yang kosong untuk menghabiskan gulali ini bersama.

“mari kita habiskan gulali ini..” aku memotong gulali ini dan memakannya dengan penuh perasaan

“ehmmm .. manisssss” ujarku saat gulali itu pecah di mulut, aku tersenyum merasakan sensasi gulali ini yang begitu manis, bahkan sangat manis. Namun tidak dengan hatiku, hatiku sangat berbanding terbalik dengan gulali ini, aku harus menahan semuanya di saat kita bersama, seperti tidak ada apa-apa di antara kita, aku menahan perasaanku demi kebersamaan kita malam ini, karena aku tak ingin menghancurkannya, aku menyampingkan perasaanku agar aku bisa tertawa bersamanya dan selalu di dekatnya, hanya itu yang ku inginkan di saat aku tak mampu meraih hatinya. Aku memotong gulaliku satu demi satu hingga gulali itu tidak tersisa sedikitpun di tanganku.

“hei! Makanlah, lalu kamu rasakan saat gulali itu pecah di dalamnya” terangku. Sejak tadi ia tak makan gulalinya apa dia enggan memakannya karena makanan ini di jual di pinggir jalan? Hmm entahlah namun aku merasakan bahwa sejak tadi ia memperhatikan ku, mungkin ia memperhatikan cara ku memakan gulali, bukan memperhatikan aku.

“baiklah, aku akan mencobanya”

“bismillah” sambungku saat dia ingin memakan gulali itu, ia menoleh padaku, menatapku bingung.

“ucapkan basmalah saat kau akan makan sesuatu apapun itu, tidak hanya saat kau makan saja namun saat kau memulai aktifitas” aku tersenyum padanya.

“oh iya .. aku hampir lupa, bismillah” ia memakan gulalinya dan ia mulai merasakan sensasi gulali itu di dalam mulutnya, ia tersenyum dan mulai memotong gulalinya sepotong demi sepotong hingga gulali ditangannya habis. Aku lupa bahwa dia mualaf, padahal ia sudah cerita padaku saat olahraga waktu itu.
“hei! Bagaimana rasanya? Apa ucapanku yang tadi terdengar bohong ?apa yang kau rasakan hm?” tanyaku penasaran.

“rasanya manis .. sama seperti mu” ia tersenyum padaku, aku tercengang dengan ucapannya, bola mataku tegang menatapnya, pipiku serasa panas. Apa yang barusan dia katakan? Apa ini serius? Aku segera menggelengkan kepalaku untuk tidak menghiraukan ucapannya.

“kau benar, mood ku langsung membaik, bahkan sangat baik .. xie xie (terimakasih)” lanjutnya.

“bagus dong, jika moodmu sudah membaik artinya banyak hal, yang kau dapat lakukan dengan tulus saat moodmu sudah kembali” ujarku seraya tersenyum.

“kevin?” panggilku.

“hmm”

“ucapanmu yang terakhir artinya apa?”

“ohh .. yang tadi, itu artinya terimakasih, terimakasih untuk malam ini dan gulalinya” terangnya. Aku lupa bahwa dia ada keturunan darah Chinese, otomatis ia bisa berbahasa mandarin.

“ohh .. iya sama-sama, terimakasih juga untuk malam ini kevin”

“iya nadien” ia tersenyum padaku dan kami saling menatap , kami terjebak di situasi yang tidak ku inginkan, jangan membuat perasaan ini semakin dalam dan jantung ini berdetak lebih kencang kevin. Ya tuhan, kenapa ia mampu menghentikan seluruh raga ku, kenapa organ tubuhku tiba-tiba menjadi kaku, kenapa bibir ini sulit berucap, kenapa nafas ini tidak beraturan, ada apa dengan ku?. Mata sipit itu, bibir tipis itu, alis tebal itu, bentuk wajahnya ..ahhh ini membuatku frustasi, frustasi karenanya, aku hampir gila dalam hitungan detik dengan tatapannya yang tajam namun tetap teduh, aku dapat melihat setiap likukan di wajahnya begitu tampan, putih dan berkharismatik.



Dddddddrrrrttttttt ……..


Suara ponsel berbunyi dari balik saku nadien, suasana romantis itu menjadi pecah karena suara panggilan masuk dari telepon nadien, mereka segera sadar dan nadien segera mengangkat telepon dan ternyata itu dari mamahnya.

‘Assalammualaikum nadien’ suara paruh baya dari sebrang telepon.

“Wa’alaikumsalam mah” balas nadien.

‘kamu lagi dimana? Bukan kah ini sudah malam? Kami menunggu di rumah, jangan pulang larut malam nak’ ujarnya khawatir.

“iya mah, sebentar lagi kami pulang, mamah jika sudah mengantuk tidurlah lebih awal, aku membawa kunci cadangan”

‘yasudah hati-hati, kamu sedang bersama kevin kan?’

“iya, kami habis dari taman bermain”

‘baiklah, hati-hati ya nak’

“iya” jawabku, telepon kamipun terputus. Ia memandangiku penuh tanda tanya.

“mamahku” ucapku mengerti pandangannya.

“aku kira pacarmu”

“bukan, aku belum memliki kekasih, menurutku pacaran itu membuang waktu bukan kah lebih baik langsung menikah saja jika sudah yakin dengan pilihannya, seperti ta’aruf?. Dan menikah itu menghindari diri dari fitnah, bukan kah lebih enak pacaran saat setelah menikah, sudah halal, tidak di pandang orang sebelah mata, terhindar dari fitnah dan allah meridhoinya, bukankah terlihat lebih indah di mata allah? Lebih baik indah di mata allah atau manusia? Kalau menurutku lebih indah di mata allah, jika indah di mata allah, sudah pasti indah di mata manusia." Ujarku seraya tersenyum, ia pun ikut tersenyum mendengar ucapanku.

“ayo pulang, jika kita tunda lagi nanti semakin larut” jelasnya, setelah melihat jam di tangan kirinya menunjukkan pukul 22.30, aku mengangguk dan kamipun pulang dengan mobil jazz putih milik kevin.



~~*~~



Aku membuka tirai jendela kamarku, pagi yang indah. Aku tersenyum penuh menatap pemandangan keluar, terlihat dari atas mamah sedang menyiram bunga-bunganya. Langit begitu cerah, matahari mulai menampakkan dirinya, apakah hari ini ia berolahraga? Sudah tiga hari aku tak bertemu dengannya dan tak ada kabar darinya. Apakah ia sedang sibuk dengan urusannya? Mungkin, aku tak bisa memastikannya, lebih baik aku membersihkan diri dan pergi ke perpus untuk mengembalikan buku yang pernah ku pinjam.


Aku menuruni beberapa anak tangga dengan keadaan sudah rapih dengan balutan baju casual, celana jeans, sepatu cats dan baju switter berwarna putih dengan bertuliskan ‘NDY’ dan tas gendong yang ku kenakan berwarna merah ‘convers’. Aku berjalan menuju ruang belakang tempat kami sarapan dan memasak, aku melihat meja makan tidak ada apa-apa, mungkin mamah tidak masak pagi ini, dari pada aku kelaparan aku mengambil sebuah apel yang ada di tengah meja dan meminum segelas susu yang telah mamah sediakan tidak jauh dari tempat buah. Aku berjalan ke depan menuju halaman rumah untuk menghampiri mamah dan memeluknya dari belakang yang tengah sibuk menyiram bunga untuk pamit namun sebelum itu banyak pertanyaan-tanyaan yang keluar dari bibir mungilnya. Aku hanya tersenyum dan menjawab dengan baik.


Begitulah mamahku jika aku pergi sendirian, makmlum aku anak tunggal jadi perasaan khawatirnya lumayan tinggi dan lingkungan di luar yang mulai gila, itu bisa menjadi salah satu alasan mamah khawatir padaku jika aku pergi sendirian, takut ada apa-apa denganku, anak semata wayangnya. Namun aku senang dengan sikap mamah yang seperti ini, yang belum tentu orang lain dapatkan, yaitu kasih sayang seorang ibu.


Aku sudah sampai di depan gedung perpustakaan pusat, aku melangkahkan kaki ku untuk masuk lebih dalam lagi, aku berjalan menuju peminjaman berkas/buku untuk mengembalikan kepada petugas. Aku membuka tasku dan mengambil buku sejarah yang ku pinjam dari tempat ini dan menaruhnya di meja pas di depan petugas itu yang tengah sibuk dengan berpuluh buku di hadapannya.


Petugas itu mendongak dan menatapku “ini aku kembalikan” ucapku sambil menutup tasku.


“ohh .. bisa tolong kau taruhkan pada tempatnya, aku sedang sibuk dengan buku-buku yang baru datang tadi” pintanya padaku. Aku menghelas nafas, aku segera mengambil buku sejarah, aku membalikkan tubuhku untuk menuju bagian rak sejarah, namun sebelum aku melangkah, petugas memanggilku.


“hei” aku menoleh.

“kenapa pak?” tanyaku.

“ambil tangga di sebelah sana, supaya tidak tertimpa buku” terangnya.

“ohh .. ada tangga di tempat ini, ku kira perpus ini minim fasilitas, dugaan ku salah selama ini, bagus deh .. supaya kepalaku tidak tertimpa buku lagi” celotehku pelan namun masih bisa di dengar oleh petugas berkas.

“sejak saya bekerja di sini, tangga itu sudah tersedia di sini, kamu saja yang tidak mau bertanya dan mencarinya” jawab petugas itu.

“hehe .. maaf pak” aku segera mengambil tangga itu tak jauh dari meja petugas dan pergi ke bagian sejarah agar tidak dapat semprotan lagi dari petugas.


Aku menaiki anak tangga yang tak cukup banyak, hanya sekitar 5 anak tangga saja. Aku menaruh buku itu pada tempatnya dan menata kembali agar terlihat lebih rapih dan mudah untuk di cari, aku segera turun dari tangga dan menyingkirkan tangga itu kesamping kiriku dan menghela nafas sebentar. Aku memutar bola mataku seperti mencari sesuatu, namun aku tak menemukan apa yang ku cari, kali ini aku tidak mencari buku, namun mencari sosoknya yaitu kevin. Aku berharap ia berda di sini walau dalam jangka waktu yang tidak lama, namun nihil aku tak menemukannya, aku tersenyum mengingat kejadian saat pertama kali kita bertemu, bertemu dalam keadaan yang tidak cukup menyenangkan dan dalam situasi keadaanku yang kurang baik, tertimpa buku cukup tebal, namun aku bersyukur dengan kejadian itu aku dapat mengenalnya, walau ada masalah kecil yang aku alami, jika kejadian itu tidak terjadi mungkin aku tidak akan bertemu dengannya. Tuhan mempertemukan kami dengan cara yang kurang nyaman bagi kami, namun bagi tuhan ini yang terbaik bagi kami, aku bersyukur dengan pertemuan indah itu, semoga hubungan aku bersamanya berakhir indah. Aku hanya berharap yang terbaik dari tuhan bukan darinya. Aku segera melipat tangga yang tidak cukup tinggi dan tidak cukup pendek untuk aku kembalikan kepada petugas, aku berjalan menuju ruang petugas dan menaruh di tempat semula.


“sudah aku kembalikan pada tempatnya, makasih pak” ujarku setelah menaruh tangga.

“iya .. terimakasih juga, tapi tunggu” aku membalikkan tubuhku kembali, saat ingin melangkah.

“iya, kenapa pak?” aku memandangi petugas itu heran, ia mengambil sesuatu dari bawah meja.

“ini kau ambil jaminannya, karena sudah mengembalikan buku” aku segera menghampiri petugas itu dan melihat apa yang ia letakkan diatas meja.

“ini bukan milikku pak, mungkin bapak salah orang” ujarku bingung, petugas itu memberikan sebuah KTP yang jelas bukan milikku.

“ini punyamu, kau ambillah” paksanya, aku terpaksa mengambilnya. Aku melihat profilnya dan mataku langsung membulat melihat apa yang ada di tanganku sekarang, sebuah KTP milik Kevin Lau, kenapa KTP nya bisa di sini?.

“pak? Kenapa ini bisa di sini?Bukan di tangan pemiliknya?” tanyaku heran.

“itu jaminan dari buku yang kamu pinjam waktu itu” jelasnya.

“tapi …”

“kau tanya kan saja padanya” ucapnya memotong ucapanku.

“yasudah, makasih pak” aku membawa KTP milik kevin dan segera pergi meninggalkan perpustakaan. Namun sebelum aku benar-benar meninggalkan perpus, aku mencari sosoknya di luar perpustakaan namun nihil hasilnya, aku tidak melihat sosoknya yang tinggi menjulang dengan kulit putih bersama senyuman yang membuatku bersemangat dalam melakukan aktifitas. Aku menyerah mencarinya, aku putuskan untuk kembali kerumah.



~~*~~



1 Minggu Kemudian.


Aku baru saja pulang dari kuliah, aku merebahkan tubuhku di atas kasur king size milikku. Hari ini aktifitas di kuliah cukup membuat tenagaku terkuras, ekskul, kegiatan social dan banyak materi yang harus di mengerti. Aku berjalan menuju jendela, menatap senja di sore hari, matahari akan berganti menampakkan dirinya dengan bulan, ku tutup jendela kamarku yang sejak tadi pagi ku biarkan terbuka dengan membiarkan udara masuk ke dalam kamarku, ku tutup tirai berwana biru laut dengan rapat. Aku pergi ke kamar mandi, membersihkan diri agar terasa lebih segar setelah seharian beraktifitas.


Drrrrttttttttttttttttt ..


Setelah aku selesai membersihkan diri, aku mendengar suara telepon berbunyi dan aku segar mengangkat, sebelum mengangkat aku setengah terkejut dengan nama yang ada di layar handphoneku ‘Kevin Lau’ nama itu lah yang muncul, ia meneleponku setelah satu minggu menghilang tanpa jejak, aku mengangkatnya dengan semangat dan mengukir senyuman di wajahku.

“assalamualaikum” ucapku senang.

‘wa’alaikumsalam’ balas dari sebrang sana dengan suara khasnya yang berat namun tetap lembut.

“iya ada apa kevin?” tanyaku.

‘nadien? Ada yang ingin aku katakan padamu’ ucapnya membuatku penasaran.

‘Apa yang ingin dia katakan ?apa ingin mengutarakan cinta padaku? Ah ..kenapa di telefon tidak romantis sekali, kenapa tidak bertemu langsung dan sedikit memberiku kejutan yang indah.’ Tebak ku dalam hati sambil tersenyum sendiri.

“iya, katakana saja kevin” balasku.

“sore ini aku akan pergi ke Beijing, maaf tidak memberi taumu lebih awal, terimakasih untuk semua yang kita lalui bersama, ku harap kau tidak marah dengan keputusanku untuk pergi meninggalkan Indonesia dengan waktu yang lama” jelasnya yang langsung membuat jantungku terasa berhenti berdetak, ucapan-ucapan yang aku harapkan tadi langsung runtuh tak tertata lagi.

“berapa lama kau akan pergi dan kenapa kau mendadak pergi kesana?”

‘aku pergi kesana melanjutkan kuliahku serta bisnis papahku dan aku tidak dapat memastikannya berapa lama aku pergi, namun berjanjilah satu hal padaku nadien” ucapnya dengan suara yang tidak dapat ku pastikan dengan baik, namun aku mendengar suara kesedihan darinya.

‘Apa ia sedih meninggalkan ku? Tidak mungkin, ia sedih karena meninggalkan kekasihnya dan keluarganya’ batinku.

“aku tidak dapat berjanji, aku takut tidak bisa menepatinya, namun aku akan berusaha melakukannya” ucapku setengah lemas, mendengar apa yang tak ingin ku dengar, ia akan pergi meninggalkanku, tidak ada kebersamaan yang kami ciptakan lagi dan aku tidak tahu apa ia akan kembali?.

‘tetaplah disisiku, jaga kesehatanmu dan selesaikan kuliah dengan baik, ku harap kau dapat melalui hari dengan bahagia dan baik, aku pamit , jaga dirimu nadien’ ucapnya, aku langsung lemas, aku segera menjauhkan handphoneku dari telingaku, aku tidak dapat menyelesaikan pembicaraan kami lebih lanjut, aku masih belum mematikan telepon, mungkin masih ada yang ia bicarakan namun aku tak dapat mendengar itu.


‘nadien .. wo ai ni (aku mencintaimu)’ lanjutnya dari sebrang sana dan telepon terputus.


Aku melihat layar handphoneku yang tadinya mati sekarang menyala, pembicaraan kami telah berakhir, namun kenapa hati ini terasa sakit? kenapa aku sedih? Aku terduduk lemas di lantai dekat kasur, aku menatap lurus dengan pandangan kosong, sejak tadi aku membiarkan handphoneku tergeletak di bawah sana, tanpa di sadari air mataku menetes membasahi pipiku, aku membayangkan kebersamaan yang kami ciptakan sebelum ia menghilang dan pergi yang tidak dapat aku pastikan kembalinya ke Indonesia dan kembalinya bersamaku. Walaupun aku sadar aku hanya teman baginya dan mungkin kedepannya kami tidak dapat bersama lagi, namun aku hanya ingin melihatnya walau dalam waktu yang tidak lama. Aku bangkit mengambil KTP miliknya di atas meja riasku, aku menarik kursi riasku dan duduk sambil memandangi KTP miliknya dengan tatapan nanar, hatiku sakit, sakit di tinggal pergi olehnya, kenapa aku merasa rapuh seperti ini, apa cinta yang ku miliki untuknya semakin besar? Aku menangis sejadi-jadinya dengan membekab mulutku, takut seseorang yang melewati kamarku mendengar tangisan yang sesungguhnya percuma. Percuma aku keluarkan karena ia tak bisa merasakan cinta ini, kerena ia tidak bisa menjadi milikku, kerena ia tak akan mengagalkan penerbangannya dan akan tetap pergi dalam jangka waktu yang lama dan yang pasti ia telah memiliki kekasih. Betapa bodohnya aku ini, membiarkan perasaan ini terus membesar, tanpa aku bisa kendalikan dengan baik.




To Be Continue .…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar